Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pemebelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Pendidikan
terdiri atas beberapa jenjang yang merupakan tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang dikembangkan. Misalnya saja, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, pendidikan tinggi, jalur pendidikan, pendidikan formal, pendidikan
non formal, dan pendidikan informal. Nah, di Indonesia pendidikan dibagi
atas beberapa jenis, yaitu pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pedidikn
akademik, pendidika profesi, pendidikan vokasi, pendidikan kagamaan, dan
pendidikan khusus.
Di era
sekarang, dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan
disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Saat ini, gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan
teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia
tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru,
dunia terbuka yang membuat orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara
lain. Atmosfer ketertinggalan di dalam mutu pendidikan begitu hangat terasa.
Baik itu pendidikan formal maupun informal. Parahnya, hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkannya dengan negara lain.
Suatu hal
yang tidak terbantahkan bahwa pendidikan adalah penopang dalam peningkatan
sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karenanya,
dibutuhkan kekuatan yang besar dalam peningkatan mutu sumber daya manusia
Indonesia agar tidak kalah bersaing dengan kualitas mutu sumber daya manusia di
Negara-negara lain.
Pendidikan
di Indonesia begitu akrab dengan berbagai masalah. Masalah besar yang hingga
saat ini masih menggerogoti negeri ini adalah mahalnya harga sebuah pendidikan
itu sendiri. Hingga memunculkan kalimat “orang miskin dilarang sekolah!!!!!”.
Memprihatinkan, tapi itulah kenyataan. Masuk TK saja, orang tua harus
mengeluarkan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah, belum lagi biaya untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Ada sebab,
ada pula akibat. Semakin larutnya bangsa ini dengan problematika dunia
pendidikan (mungkin), tak elak membuat mata bangsa Indonesia tertutup dengan
hal-hal yang menjadi akibat dari caruk maruknya kondisi pendidikan di Indonesia
itu sendiri. Banyak orang yang dirugikan. Banyak orang yang harus menjadi
korban dari segala bentuk problema yang terjadi. Pemulung. Ya, siapa
sangka kalau mereka yang mengumpulkan puing-puing rupiah dari tong-tong sampah
dan tempat kumuh lainnya adalah korban dari caruk maruknya kondisi pendidikan
di Indonesia?
Indonesia,
negara kepulauan dengan jumlah penduduk yang lumayan besar membuat negeri ini
bagaikan kapal yang kehilangan kendali di laut lepas. Ya, sama halnya
dengan permasalahan pendidikan dan pemulung di Indonesia. Para
petinggi-petinggi bangsa ini seakan kehilangan kendali untuk memperbaiki
kondisi pendidikan di Indonesia dan menekan jumlah pertumbuhan pemulung.
Jumlah
pemulung di Indonesia bak semut mengerumuni gula. Hampir di setiap sudut jalan,
pandangan kita lumayan sering tersangkut pada orang-orang yang melakoni profesi
ini. Mulai dari usia yang renta, yang pada dasarnya sudah tidak produktif lagi
untuk bekerja hingga anak-anak dibawah usia lima tahunpun sudah ada yang
memulung. Sebuah hal yang memilukan tentunya. Tapi sekali lagi, inilah
kenyataan! Kenyataan memilukan akan sebuah “PROFESI”.
Anak-anak
usia enam tahun ke atas pada kalangan ekonomi kelas menengah ke atas, pada
pukul 07.00 telah beranjak dari rumahnya masing-masing dengan diantar oleh
orang tua mereka, dengan seragam sekolah yang gagah, dengan tas sekolah yang
cantik dan unik serta buatan pabrik, dengan sepatu bermerek, dengan topi yang
melambangkan sekolah mereka. Nah, bandingkan dengan anak-anak pemulung,
yang berasal dari ekonomi kelas bawah. Mereka beranjak dari rumah ketika
semburat cerah matahari pecah di ufuk timur. Tanpa didampingi orang tua, mereka
dengan pakaian seadanya yang sudah Nampak kumal berjalan dengan “tas” di pundak
mereka. “Tas” buatan pabrik, tapi tidaklah secantik dan tidak sebagus apa yang
anak-anak lain kenakan. Karena, tas yang mereka gunakan adalah buatan pabrik
yang dibagian dpannya bertuliskan “BERAT BERSIH 50 Kg”!!!! ya,
“tas” itu adalah karung bekas, yang mereka dapat dari hasil pulungan mereka
sendiri.
Sama halnya
dengan alas kaki yang mereka gunakan. Mereka tidaklah menggunakan sepatu yang
cantik, yang bagus, yang bemerek sebagai alas kaki yang kebanyakan digunakan
oleh kebanyakan anak seusia mereka. Melainkan, sepatu mereka adalah sepatu
tidak layak pakai, yang mungkin untuk anak-anak lain telah mereka buang lalu
kemudian kembali merengek tidak jelas kepada orang tuanya untuk diberikan yang
baru lagi. Tapi, mereka untuk merengekpun enggan. Karena, mereka tau itu
percuma. Terkadang pula dari mereka, hanya menggunakan sandal jepit yang aus,
sekedar untuk melindungi kaki mereka dari sengatan panas matahari. Pentup
kepala yang mereka gunakan hanyalah satu dari sebgain besar hasil pulungan
mereka yang kembali dimanfaatkan, sekalipun telah sobek.
Pada
dasarnya, pemulung harus menghadapi konstruksi sosial dan kultur masyarakat
yang telah dihinggapi doktrin-doktrin materialisme. Para pemulung sering
dicitrakan sebagai “Orang jahat” alias maling yang pantas dicurigai. Di sudut
jejalangan kota, tak jarang ditemukan tulisan dengan huruf yang sangat
mencolok: “PEMULUNG DILARANG MASUK!”. Jika diperhatikan, tulisan semacam ini
tidak lebih dari sebuah “pembiadaban” berdasarkan cara pandang pemikiran yang
sempit dan nihil dari sentuhan nilai kemanusiaan. Mungkin ada pemulung yang
“tersesat” sehingga memiliki keinginan untuk memiliki sesuatu yang tiba-tiba
saja menggoda nafsu dan selera rendahnya. Namun, hal-hal semacam itu tidak
boleh dijadikan tolak ukur bahwa pemulung identik dengan maling.
Setiap orang
punya mimpi dan cita-cita. Pemulung bukanlah harapan dan cita-cita. Tak
seorangpun yang menginginkan predikat semacam itu melekat pada dirinya. Namun,
situasi kemiskinan structural yang sudah demikian menggurita di negeri ini.
Disadari atau tidak, telah melahirkan terciptanya pemulung sebagai mata
pencaharian baru. Jangan salahkan mereka jika kehadirannya terpaksa mengganggu
kenyamanan pandangan mata para pemuja gaya hidup materialistis dan hedonis.
Indonesia
dibagi menjadi menjadi dua golongan. Golongan pertama, pengambil kebijakan, dan
golongan kedua adalah penerima kebijakan. Nah, golongan kedua inilah
yang tidak jarang menjadi korban dari kebijakan itu sendiri. Para pengambil
kebijakan seharusnya memiliki kepekaan dalam menangani masalah-masalah sosial
yang menghinggapi masyarakat, terlebih terhadap masyarakat ekonomi kelas bawah.
Jangan gampang melakukan pembiadaban dan menempuh cara-cara fasis untuk
menyingkirkan wong cilik yang sedang mencari peruntungan dan perbaikan
nasib keluarganya jika tidak sanggup memberikan jaminan penghidupan yang layak.
Selamat hari
pendidikan nasional. Semoga mereka yang di atas bisa sadar bahwa mimpi indah
tempatnya di bangku sekolah, bukan di tempat penampungan sampah!
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/02/pemulung-sisi-gelap-dunia-pendidikan-indonesia/
1 komentar:
Halo
Posting Komentar